(Beritadaerah – Kolom) Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) secara konsisten menghasilkan indikator partisipasi sekolah setiap tahun. Selain partisipasi sekolah pada jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang, Susenas juga menghasilkan indikator pendidikan anak usia dini, seperti Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD dan Angka Kesiapan Sekolah (AKS). Indikator APK PAUD adalah salah satu indikator pendidikan yang mengalami kemunduran sejalan dengan adanya pandemi Covid-19 sejak tahun 2020.
Adanya pandemi Covid-19 menghalangi kesempatan anak-anak usia dini untuk terlibat dalam kegiatan di luar rumah, termasuk mengikuti pendidikan prasekolah. Sejalan dengan itu, APK PAUD pada tahun 2022 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2020 (37,52 menjadi 35,28). Jika dilihat menurut status disabilitas, masih terdapat gap antara APK PAUD kelompok disabilitas terhadap kelompok nondisabilitas (25,09 berbanding 35,36 pada tahun 2022). Di sisi lain, AKS tahun 2022 mencapai 74,34 persen dan capaian tersebut cenderung stagnan di angka 74 persen sejak tahun 2016.
Sementara itu, dilihat dari kelompok umur, angka partisipasi sekolah semakin kecil seiring bertambahnya umur. Perbedaan besaran angka partisipasi sekolah pada kelompok pengeluaran teratas (Kuintil 5) dan terbawah (Kuintil 1) tampak samar pada APS 7-12 tahun. Perbedaan tersebut semakin nyata terlihat seiring kenaikan kategori kelompok umur. Sama halnya dengan APS, penduduk kelompok pengeluaran teratas memberikan kontribusi paling besar untuk APK SM/sederajat dan APK PT.
Salah satu sasaran Program Pendidikan Anak Usia Dini dan Wajib Belajar 12 Tahun adalah meningkatnya partisipasi sekolah penduduk pada jenjang pendidikan menengah (SM/sederajat) yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah menargetkan capaian indikator APK SM/sederajat level provinsi melebihi 95 (Renstra Kemdikbud 2020-2024). Berdasarkan hasil Susenas Maret 2022, sebanyak enam provinsi sudah memenuhi harapan pemerintah. Keenam provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat.
Sementara itu, indikator APM jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi termasuk dalam jajaran indikator Sustainable Development Goals (SDGs) untuk melihat ketidakmerataan partisipasi pendidikan (Bappenas, 2017). Kelompok penduduk yang dibandingkan antara lain laki-laki dan perempuan, disabilitas dan nondisabilitas, perkotaan dan perdesaan, serta kelompok pengeluaran teratas dan terbawah. Pada semua kategori disagregasi kecuali status disabilitas, ketimpangan APM tampak samar pada jenjang pendidikan SD/sederajat. Kesenjangan partisipasi pendidikan tampak nyata pada jenjang pendidikan SMP/sederajat ke atas dengan kelompok tertinggal adalah laki-laki, perdesaan, penduduk disabilitas, dan kuintil 1.
Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan suatu keharusan pada hampir seluruh peserta didik dalam proses belajar mengajar dengan segala keterbatasan selama masa pandemi. Di tahun 2022, proses belajar mengajar berangsur normal kembali dengan didorongnya pemberlakuan 100 persen Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Fenomena ini turut mengubah penggunaan TIK para peserta didik berupa penurunan persentase penggunaan internet dan penggunaan telepon seluler. Meskipun demikian, penggunaan komputer mengalami peningkatan di kalangan peserta didik. Walaupun pembelajaran selama pandemi memengaruhi perilaku TIK peserta didik, namun jika dilihat dari tujuannya, hiburan, media sosial, dan akses informasi/berita mendominasi peserta didik dalam mengakses internet.
Selain bersekolah, peserta didik juga melakukan hal lain seperti mengurus rumah tangga maupun bekerja. Hal ini dikarenakan usia 5-24 tahun yang dianalisis beririsan dengan usia bekerja dan usia perkawinan. Pada tahun 2022, persentase peserta didik yang mengurus rumah tangga menurun cukup tajam yaitu sekitar 8,71 persen poin dibandingkan tahun 2021. Begitu pula dengan persentase peserta didik yang bekerja juga mengalami penurunan meski hanya sekitar 0,38 persen poin dibandingkan tahun 2021.
Berdasarkan jenjang pendidikan, masih terdapat 0,65 persen peserta didik pada jenjang SD/sederajat yang bekerja. Hal ini menjadi perhatian karena di dalam UU, penduduk yang berada di bawah usia 13 tahun dilarang untuk bekerja. Sementara sebagian besar peserta didik pada jenjang SD/sederajat berusia di bawah 13 tahun. Secara umum, meskipun melakukan kegiatan lainnya, 89,83 persen peserta didik menggunakan waktu terbanyaknya untuk sekolah. Hanya sebagian kecil dari mereka yang melakukan kegiatan dengan waktu terbanyak untuk mengurus rumah tangga, bekerja dan lainnya.
Hasil dan capaian proses pendidikan tercermin dari beberapa indikator output pendidikan di antaranya Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), Angka Melek Huruf (AMH), dan persentase penduduk menurut ijazah tertinggi yang ditamatkan. Hasil dan capaian dari proses pendidikan itu sendiri, tidak terlepas dari indikator input dan indikator proses pendidikan.
Secara umum, mayoritas penduduk 15 tahun ke atas di Indonesia telah mencapai wajib belajar 9 tahun (62,68 persen). Pada tahun 2022, penduduk yang tamat SMP/sederajat 22,56 persen, tamat SM/Sederajat sebesar 29,97 persen, sedangkan yang tamat Perguruan Tinggi hanya sebesar 10,15 persen, sedangkan sisanya tamatan SD/sederajat ke bawah. Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas juga baru sebesar sebesar 9,08 tahun atau setara kelas 3 SMP/Sederajat pada tahun 2022.
Demikian juga Angka Melek Huruf (AMH) penduduk usia 15 tahun ke atas juga sebesar 96,35 persen, artinya dari 100 penduduk masih ada sekitar 4 penduduk yang buta huruf. Hal ini harus menjadi fokus perhatian karena AMH merupakan salah satu indikator yang menjadi target SDGs pada pilar Sosial, yaitu target 4.6.
Kejadian putus sekolah masih mewarnai proses pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2022 dari 1.000 siswa SD/Sederajat terdapat 1 siswa yang putus sekolah. Angka ini semakin tinggi seiring dengan semakin tingginya jenjang pendidikan. Pada jenjang SM/Sederajat terdapat 13 dari 1.000 siswa yang putus sekolah. Tantangan lain adalah tingginya angka Anak Tidak Sekolah (ATS). Angka anak tidak sekolah tertinggi berada pada kelompok umur 16-18 tahun, dimana dari 100 anak berumur 16-18 tahun, terdapat sekitar 22 anak yang tidak sekolah.