(Beritadaerah-Kolom) Usia dini merupakan fase emas dari masa pertumbuhan anak dimana kapasitas otak berkembang secara maksimal pada dimensi intelektual, emosi dan sosial anak.
Pengembangan anak usia dini yang berkualitas telah diakui secara luas sebagai investasi utama terpenting dalam pengembangan manusia di Indonesia. Oleh karena itu, dalam membentuk generasi emas diperlukan suatu peta data yang akurat, komprehensif, dan terpercaya sebagai pijakan bagi pemangku kepentingan dalam menentukan arah langkah pembangunan selanjutnya.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh tumbuh kembang anak selama periode usia dini yaitu sejak janin sampai anak berusia 6 (enam) tahun. Masa usia dini adalah the first window of opportunity. Sebagaimana ungkapan “apa yang kau tanam itu yang kau tuai”, memupuk tumbuh kembang anak usia dini akan menghasilkan pemuda Indonesia yang berkualitas di masa mendatang.
Sejak beberapa dekade yang lalu, pemerintah Indonesia telah menunjukkan keseriusannya terhadap isu anak dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Regulasi tersebut lahir atas pertimbangan bahwa anak adalah potensi dan penerus cita-cita bangsa sehingga anak perlu tumbuh dan berkembang dengan baik.
Kemudian, pemerintah menyusun regulasi turunan terkait anak usia dini melalui Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif (PAUD HI). Berangkat dari Perpres Nomor 60 Tahun 2013, pemerintah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) PAUD HI 2020-2024.
Kerangka penyusunan indikator RAN PAUD HI merujuk pada empat tujuan khusus PAUD HI yang memuat aspek kesehatan dan gizi, pendidikan, pengasuhan dan kesejahteraan, perlindungan, serta koordinasi lintas sektor.
Baca juga : Wapres Pastikan Komitmen Penurunan 60 Persen Balita Stunting di 12 Provinsi Prioritas
Proses transisi demografi telah mengubah wajah piramida penduduk Indonesia. Sejak era baby boom hingga saat ini, persentase anak usia dini (0-6 tahun) relatif menurun. Pada tahun 2022, terdapat 11,21 persen atau sekitar 30,73 juta anak usia dini di Indonesia dengan rasio jenis kelamin anak usia dini sebesar 105,01 yang menunjukkan bahwa anak usia dini laki-laki lebih banyak dari perempuan.
Berdasarkan daerah tempat tinggal, persentase anak usia dini di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan (56,79 persen berbanding 43,21 persen). Selanjutnya untuk komposisi anak usia dini berdasarkan kelompok umur, sebanyak 12,11 persen merupakan bayi (<1 tahun), 58,78 persen merupakan anak balita (1-4 tahun), dan 29,11 persen merupakan anak prasekolah (5-6 tahun).
Mayoritas anak usia dini tinggal bersama ayah dan ibu kandung dalam satu rumah tangga (90,82 persen). Akan tetapi, sekitar 7,48 persen anak usia dini tinggal bersama orangtua tunggal, baik bersama ayah kandung maupun ibu kandung saja. Di sisi lain, masih terdapat 1,69 persen anak usia dini yang tidak tinggal bersama ayah dan ibu kandung.
Keberadaan orangtua/wali yang tinggal bersama anak usia dini berpeluang dalam menciptakan aktivitas kebersamaan yang akan mempererat hubungan anak dengan orangtua/wali. Makan (termasuk belajar makan) merupakan aktivitas yang paling banyak dilakukan oleh anak usia dini bersama orangtua/wali mereka. Sekitar 90,59 persen anak usia dini makan/belajar makan bersama orangtua/wali.
Kemudian, aktivitas berbincang-bincang/mengobrol menempati posisi kedua teratas (69,10 persen) dan kegiatan menonton televisi bersama orangtua/wali berada di urutan ketiga (61,05 persen). Sementara itu, aktivitas kebersamaan anak-orangtua/wali yang mengarah ke kegiatan edukatif memiliki persentase yang tidak terlalu besar. Orangtua/wali yang membacakan buku cerita atau berdongeng hanya sekitar 17,21 persen. Kemudian, anak usia dini yang belajar/membaca buku dengan ditemani orangtua/wali hanya 11,12 persen.
Hasil Susenas MSBP menunjukkan pada tahun 2021, persentase balita yang pernah mendapat pengasuhan tidak layak sebesar 3,69 persen, sedikit menurun dibandingkan tahun 2018 (3,73 persen). Persentase balita yang pernah mendapatkan pengasuhan tidak layak lebih besar di perdesaan dibandingkan di perkotaan (4,36 persen berbanding 3,17 persen).
Lebih jauh, salah satu kontributor pengasuhan tidak layak adalah balita dengan ibu kandung yang bekerja. Pada tahun 2021, persentase balita yang mendapat pengasuhan tidak layak lebih besar pada balita dengan ibu kandung yang bekerja dibandingkan ibu yang tidak bekerja (5,88 persen berbanding 2,14 persen). Konsep pengasuhan tidak layak, yakni balita ditinggal sendiri atau dititipkan bukan pada orang dewasa selama lebih dari satu jam, menjadi tantangan tersendiri bagi ibu bekerja.
Masa usia dini anak merupakan masa emas, namun sekaligus masa rentan. Masa emas (golden age) ini merupakan masa yang tepat untuk meletakkan dasar pemahaman kognitif dan psikososial dalam menentukan kualitas hidup anak kelak. Pada masa ini, asupan gizi dan nutrisi harus terpenuhi dengan baik untuk menunjang potensi perkembangan yang pada akhirnya akan meminimalisir risiko terjadinya stunting, defisiensi yodium, anemia, dan rentan sakit pada anak.
Baca juga : Membangun Sumber Daya Manusia Papua Barat
Pada pandemi Covid-19 per tanggal 30 September 2022, sekitar 3,1 persen dari total 6,46 juta kasus positif Covid-19 merupakan anak usia 0-5 tahun. Hal ini perlu menjadi perhatian karena jika anak terjangkit Covid-19, efeknya bukan hanya dirasakan sekarang, melainkan berdampak panjang pada beberapa tahun mendatang yang dikenal sebagai kondisi Long Covid. Hal ini menyebabkan anak berisiko mengalami penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas seharihari seperti ketidakmapuan mentolerir aktivitas berat, kecemasan atau sesak dada, serta kesulitan bernafas dan berpikir.
Pada tahun 2022, terdapat 33,43 persen anak usia dini yang mengalami keluhan kesehatan dan separuhnya mengalami sakit (16,09 persen). Berdasarkan klasifikasi desa, persentase anak usia dini di perdesaan yang mengalami keluhan kesehatan (35,01 persen) dan mengalami sakit (17,88 persen). Capaian tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak usia dini yang tinggal di perkotaan.
Selain itu, berdasarkan pengeluaran rumah tangga, persentase anak usia dini pada kelompok pengeluaran 20 persen teratas memiliki capaian paling rendah dibandingkan kelompok lainnya itu 31,05 persen yang mengalami keluhan kesehatan dan 14,66 persen yang mengalami sakit.
Secara umum, keluarga memberikan respon positif terhadap keluhan kesehatan yang dialami anak. Hal ini terlihat dari hampir separuh (46,67 persen) anak usia dini mengobati sendiri saat mengalami keluhan kesehatan, 19,57 persen yang berobat jalan saja, serta 30,84 persen yang mengobati sendiri maupun berobat jalan.
Sementara itu, masih ada 2,92 persen anak usia dini yang tidak melakukan tindakan pengobatan apapun ketika mengalami keluhan kesehatan. Jika dibandingkan dengan capaian antara tahun 2021 dan 2022, persentase anak yang mengobati sendiri saja dan berobat jalan saja mengalami penurunan. Sebaliknya, persentase keluarga yang mengobati sendiri sekaligus berobat jalan meningkat cukup besar di tahun 2022.
Selain berobat jalan, beberapa kondisi juga mengharuskan anak usia dini yang mengalami keluhan kesehatan untuk dirawat inap. Secara total, kelompok anak di bawah satu tahun merupakan kelompok usia yang paling banyak dirawat inap (12,64 persen) dalam setahun terakhir, dibandingkan kelompok lainnya.
UNICEF (2020) menyatakan bahwa bayi memiliki imunitas yang lebih rendah. Bahkan disebutkan pula bahwa bayi baru lahir merupakan kelompok usia yang paling rentan dengan separuh kematian terjadi pada bulan pertama kehidupan. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dikembangkan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial.
Pemerintah menerapkan Sistem Jaminan Sosial (SJSN) agar semua penduduk terlindungi dalam sistem asuransi sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak. Pada tahun 2022, anak usia dini yang menggunakan jaminan kesehatan untuk rawat inap jauh lebih tinggi dibandingkan berobar jalan yaitu 61,38 persen berbanding 28,35 persen.
Jika dilihat berdasarkan distribusi pengeluaran rumah tangga, terlihat pola persentase penggunaan jaminan kesehatan yang semakin tinggi seiring semakin tingginya distribusi pengeluaran. Pada kelompok 20 persen teratas, terdapat 45,06 persen anak usia dini yang menggunakan jaminan kesehatan untuk berobat jalan serta 75,76 persen untuk rawat inap.
Upaya pencegahan diperlukan untuk menjaga kualitas kesehatan anak usia dini di kemudian hari, salah satunya adalah dengan menjamin asupan nutrisi. Pemberian ASI merupakan salah satu cara efektif meningkatkan kesehatan bayi. Sejalan dengan PP RI Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI, serta ASI eksklusif. Pada tahun 2022, sekitar 72,04 persen anak usia 0-5 bulan telah mendapatkan ASI eksklusif.
Capaian ini sudah cukup baik karena telah melampaui target dari Renstra Kementerian Kesehatan sebesar 60 persen pada tahun 2024. Bukan hanya asupan nutrisi yang masuk ke dalam tubuh anak, lingkungan sekitar tempat tinggal anak juga mendukung kualitas kesehatan. Lebih dari separuh (57,91 persen) anak telah tinggal di rumah layak huni.
Sekitar 90,63 persen anak telah memiliki akses pada layanan sumber air minum layak dan 80,93 persen telah mendapatkan sanitasi layak. Selain asupan nutrisi berupa ASI, anak usia dini juga perlu diberikan imunisasi dasar lengkap untuk memperkuat daya tahan tubuhnya.
Secara total, 63,17 persen anak usia 12-23 bulan memperoleh imunisasi dasar lengkap. Cakupan imunisasi dasar lengkap ini lebih tinggi di perkotaan (64,78 persen) daripada perdesaan (61,07 persen). Selain itu, persentase capaian imunisasi dasar lebih tinggi pada distribusi pengeluaran rumah tangga 20 persen teratas (68,66 persen) dibandingkan kelompok lainnya.
Sayangnya, masih ada sekitar 69,42 persen anak usia dini tinggal dengan salah satu ART perokok. Tanpa disadari, anak tersebut memiliki risiko yang lebih berbahaya. Asap rokok yang dikeluarkan, membuat penghirup asapnya menjadi perokok pasif (second-hand smoke). Padahal, perokok pasif memiliki risiko 3 kali lipat lebih berisiko untuk memiliki kesehatan yang lebih buruk dibandingkan perokok aktif. Meskipun asap rokok yang dihisap relatif sedikit, namun zat kimia yang masuk ke tubuh memicu masalah kesehatan seperti penyakit jantung, gangguan pernafasan, dsb.
Selain kesehatan, hal lainnya yang harus dioptimalkan pada periode tumbuh kembang anak usia dini adalah aspek pendidikan. Hal ini menjadi bagian dari upaya peningkatan kualitas hidup anak di kemudian hari. Hasil Susenas Maret 2022 menunjukkan bahwa terdapat 26,77 persen anak usia dini yang pernah/sedang mengikuti pendidikan prasekolah. Hal ini berarti dari 4 anak usia dini hanya ada 1 yang pernah/sedang mengikuti pendidikan prasekolah.
Sementara itu, jika dilihat pada indikator Angka Kesiapan Sekolah (AKS) capaiannya baru sebesar 74,34 persen, artinya 3 dari 4 peserta didik yang duduk di kelas 1 SD pernah mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Selain pendidikan, pemanfaatan waktu luang untuk anak usia dini juga penting dilakukan untuk mengembangkan potensi anak secara optimal.
Berdasarkan hasil Susenas MSBP 2021, pada anak usia 5-6 tahun terdapat 8,21 persen yang mengikuti kursus. Selain itu, terdapat 28,58 persen anak usia 5-6 tahun yang berolahraga dalam seminggu terakhir. Media massa merupakan salah satu alat untuk memperoleh informasi yang terjadi di berbagai belahan dunia. Terdapat 68,01 persen anak usia dini yang menonton televisi dalam seminggu terakhir.
Dewasa ini, informasi tidak hanya didapatkan melalui televisi tetapi juga melalui gadget. Keberadaan gadget dan koneksi internet yang tentunya dapat mendukung berbagai bidang kehidupan manusia. Pada tahun 2022 terdapat 33,44 persen anak usia dini yang menggunakan handphone serta terdapat 24,96 persen anak usia dini yang mengakses internet.
Perlindungan dan kesejahteraan anak usia dini erat kaitannya dengan pemenuhan hak dasar anak, dimana salah satunya adalah kepemilikan akta kelahiran yang menjadi syarat utama untuk dapat memperoleh pelayanan publik. Secara umum, pada tahun 2022 sekitar 84,56 persen anak usia dini di Indonesia telah memiliki akta kelahiran. Namun demikian, masih terdapat 15,44 persen anak yang masih belum memiliki akta kelahiran atau dengan kata lain masih terdapat anak usia dini yang keberadaannya belum diakui secara hukum oleh negara sehingga berpotensi mengalami keterbatasan akses terhadap layanan publik.
Rumah tangga dengan anak usia dini merupakan salah satu target keluarga penerima manfaat PKH yang bertujuan memastikan anak usia dini memiliki akses terhadap peningkatan dan pemeliharan kesehatan. Hasil Susenas tahun 2022 menunjukkan bahwa 14,70 persen rumah tangga dengan anak usia dini pernah menjadi penerima PKH dalam setahun terakhir.
Di sisi lain, terdapat indikasi bahwa anak usia dini juga rentan terhadap kondisi yang tidak menguntungkan, seperti korban kejahatan, ketelantaran, maupun kemiskinan. Pada tahun 2022 terdapat sekitar 0,03 persen anak usia dini yang pernah menjadi korban kejahatan. Meskipun masih terbilang kecil, angka tersebut tetap harus menjadi perhatian mengingat idealnya tidak ada anak usia dini yang mengalami tindak kejahatan dengan pertimbangan bahwa mereka belum mampu melindungi diri sendiri.
Lebih jauh, hasil Susenas MSBP tahun 2021 menunjukkan bahwa terdapat 4,59 persen balita di Indonesia yang berstatus telantar dan sekitar 15,66 persen balita berstatus hampir telantar. Artinya, sekitar 15 persen balita hampir telantar berpeluang menjadi balita telantar jika tidak terdapat upaya serius dari berbagai pihak untuk menangani masalah tersebut.
Selain anak telantar, anak yang mengalami eksploitasi secara ekonomi juga berhak mendapat perlindungan khusus. Anak yang berada pada keluarga miskin khususnya rentan mengalami eksploitasi ekonomi. Hasil Susenas Maret 2022 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 12,67 persen anak usia dini yang masih hidup di bawah garis kemiskinan atau tinggal di rumah tangga miskin.