(Beritadaerah-Kolom) Ciri khas kehidupan sehari-hari Indonesia sedang menghadapi tantangan. Selama beberapa dekade, sebagian dari 280 juta penduduk negara ini telah menghasilkan uang dari lalu lintas yang terkenal itu. Pria dan wanita berdiri di jalan dan membantu mobil berbelok, dengan imbalan tip berupa beberapa sen yang dibagikan melalui jendela.
Namun, hari-hari bagi para pengatur lalu lintas tidak resmi ini sudah dihitung. Orang Indonesia semakin meninggalkan uang tunai demi pembayaran melalui ponsel pintar, sehingga semakin sedikit uang receh bagi para pengatur lalu lintas seperti Boim Rahmat. Ia mengatakan bahwa beberapa tahun yang lalu, ia memperoleh penghasilan setara dengan 320.000 rupiah hingga 360.000 rupiah per hari. Sekarang, penghasilannya menjadi 240.000 rupiah per hari dan terus menurun.
Para pekerja lepas yang ada di mana-mana ini disebut Pak Ogah, diambil dari nama karakter TV anak-anak yang melakukan pekerjaan sambilan untuk mendapatkan uang. Tidak ada penghitungan resmi. Ditoleransi tetapi sering tidak diperbolehkan oleh pihak yang berwajib, mereka mencoba bertahan hidup di Indonesia.
Seiring dengan meningkatnya kemakmuran Indonesia, negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, orang-orang membeli lebih banyak mobil. Namun, jaringan jalan raya tidak mengimbanginya. Kemacetan adalah salah satu alasan pemerintah memindahkan ibu kotanya dari Jakarta ke Nusantara, kota baru di pulau lain. Kemacetan di Jakarta, kota berpenduduk 11 juta orang, terus-menerus menempati peringkat di antara yang terburuk di dunia.
Pengendali lalu lintas dulunya memiliki sepupu yang dikenal sebagai joki mobil. Ketika Jakarta mengharuskan kendaraan untuk membawa setidaknya tiga orang untuk mengakses jalan utama, para penumpang gelap yang disewa meminta pengemudi tunggal yang bersedia membayar mereka satu dolar untuk ikut serta dalam perjalanan. Joki mobil menghilang setelah tahun 2016, ketika Jakarta menghapus sistem carpooling. Para direktur lalu lintas tetap ada di seluruh Indonesia.
Apakah mereka benar-benar meredakan kemacetan adalah subjek dari sebuah studi tahun 2020 di kota Yogyakarta, yang melacak berapa lama waktu yang dibutuhkan mobil untuk berbelok ketika mereka hadir dibandingkan ketika mereka tidak hadir. Hasilnya: Pak ogah hanya memangkas dua detik per belokan. Salah satu hambatan, kata Muhammad Zudhy Irawan, seorang profesor manajemen lalu lintas di Universitas Gadjah Mada yang ikut menulis penelitian ini, adalah bahwa “pengemudi perlu memperlambat laju kendaraan untuk membayar pak ogah.” Dia mengatakan kontribusi utama mereka adalah mengurangi tabrakan. Mata pencaharian mereka terancam pada tahun 2019, ketika pemerintah mulai mempromosikan pembayaran berdasarkan pemindaian kode QR dengan telepon pintar. Adopsi baru-baru ini meningkat pesat di Jakarta, dengan kode QR ada di mana-mana bahkan di warung pinggir jalan.
Jika memindai kode QR di restoran merepotkan, bayangkan memindainya dari kendaraan yang bergerak sambil berputar balik. “Itu akan menciptakan lebih banyak lalu lintas,” kata Leffan, seorang pak ogah berusia 45 tahun di Jakarta. Leffan, yang seperti banyak orang Indonesia hanya memiliki satu nama, mengatakan pendapatannya telah menyusut 5% hingga 10%, menjadi sekitar 220 ribu rupiah sehari. Luhut Binsar Pandjaitan, penasihat digitalisasi Presiden Prabowo Subianto, memahami nasib pak ogah. “Sebentar lagi tidak akan ada lagi,” katanya.
Namun sebelum hari itu tiba, katanya, pemerintah akan membantu mereka mencari pekerjaan, seperti yang telah dilakukan pemerintah untuk membantu masyarakat miskin di daerah pesisir dengan mendukung budidaya rumput laut. Masa depan Indonesia harus nir-tunai, kata Luhut, untuk membantu meningkatkan transparansi dan mengurangi suap. Pembayaran digital sudah membantu warga Jakarta. Setelah mpok Kubil menambahkan kode QR ke gerobak makanan ringannya pada tahun 2023, penjualan harian meningkat 50% hingga 100%, menjadi antara 180.000 rupiah dan 240.000 rupiah.
Namun di persimpangan di depannya ada yang hidup dari jalanan: saudara laki-lakinya yang seorang pengatur lalu lintas, Boim. Salah satu masalahnya adalah Boim tidak memiliki telepon genggam sendiri. Dia, istrinya, putra mereka yang berusia 18 tahun, dan putri mereka yang berusia 17 tahun berbagi dua perangkat di antara mereka. Mereka tinggal di sebuah rumah dua kamar dengan empat orang lainnya: saudara laki-laki istrinya dan tiga keponakan laki-lakinya. Hanya ada tiga kasur, jadi lima orang tidur di lantai. Pada suatu malam baru-baru ini, Boim yang berusia 39 tahun malah tidur di bangku di sebelah gerobak makanan ringan saudara perempuannya, sebagian untuk memastikan dia bisa mulai bekerja lebih awal.
Dia bangun pukul 5 pagi dan mengatur lalu lintas sampai dia mendapatkan cukup uang untuk sarapan di warung makan: 4.000 rupiah untuk kopi instan dan 2.500 rupiah untuk sebatang rokok. Butuh waktu 15 menit untuk mendapatkan jumlah itu, yang totalnya bisa 10.000 rupiah. Kemudian dia beristirahat sampai giliran resminya. Dia berbagi persimpangan ini dengan 19 pak ogah lainnya, yang biasanya bekerja tiga shift selama satu jam setiap dua hari. Tepat pukul 12:30 siang, dia dan rekannya, Sari, melangkah ke kemacetan. Sari menghentikan lalu lintas yang datang sementara Boim mengumpulkan tip di putaran balik. Dalam 10 menit pertama, Boim melambaikan tangan kepada 52 mobil atau truk. Hanya 22, atau 42%, yang memberinya uang kertas atau koin. Tidak ada pengendara sepeda motor yang menawarkan uang. Dua pak ogah lainnya menggantikan Boim dan Sari tepat pukul 1:30 siang.
Boim mengosongkan kantongnya di pinggir jalan dan menghitung hasil tangkapannya: 100.000 rupiah. Ia dan Sari masing-masing mengambil 50.000 rupiah. Beberapa tahun yang lalu, saat shift makan siang ia memperoleh 80.000 rupiah. “Hari ini bukan hari yang baik,” kata Boim.
Perubahan pola pembayaran di Indonesia, terutama dengan peralihan dari uang tunai ke pembayaran digital, telah memberikan dampak besar terhadap kehidupan para pengatur lalu lintas tidak resmi atau Pak Ogah. Dengan semakin banyaknya orang yang menggunakan ponsel pintar dan sistem pembayaran berbasis QR, tip yang diterima oleh Pak Ogah semakin berkurang, bahkan mengancam keberlanjutan pekerjaan mereka. Meskipun mereka masih ada di sejumlah titik persimpangan, kehadiran mereka hanya mampu memangkas waktu belok kendaraan beberapa detik dan lebih berfungsi sebagai pengurangi potensi tabrakan. Di masa lalu, penghasilan mereka bisa mencapai 320.000 hingga 360.000 rupiah per hari, namun kini angka itu menurun drastis menjadi sekitar 240.000 rupiah. Pemerintah Indonesia, yang ingin mendorong transparansi dan mengurangi praktik suap, terus mempromosikan pembayaran nontunai, meskipun teknologi ini belum sepenuhnya diadopsi di kalangan pengemudi yang terbiasa dengan sistem lama.
Masa depan Pak Ogah memerlukan perhatian, apalagi dengan semakin banyaknya tempat yang mulai menggunakan QR code untuk transaksi. Namun, tantangan terbesar bagi mereka adalah ketidakmampuan untuk mengakses teknologi ini, seperti yang dialami oleh Boim, yang tidak memiliki ponsel pintar. Meskipun pemerintah menjanjikan bantuan untuk transisi pekerjaan, kenyataannya, banyak Pak Ogah yang kesulitan beradaptasi dengan perubahan ini karena keterbatasan akses dan keterampilan. Kehidupan sehari-hari mereka, seperti yang tercermin dari perjuangan Boim, menunjukkan bahwa masih ada jurang kesenjangan antara kemajuan teknologi dan kemampuan ekonomi mereka untuk beradaptasi.
Banyak pekerja informal ini yang terpinggirkan dalam transisi digital. Perubahan ini juga memperlihatkan adanya ketimpangan sosial yang lebih luas, di mana teknologi justru menjadi penghalang bagi kelompok-kelompok tertentu yang bergantung pada pekerjaan tradisional. Para Pak Ogah menghadapi masa depan yang semakin tidak pasti, dengan sedikit peluang untuk beralih ke pekerjaan lain yang lebih stabil. Akhirnya, profesi ini mungkin akan semakin tergerus seiring berkembangnya teknologi dan digitalisasi yang tidak dapat dihindari.