Swasembada, Ketahanan, Kedaulatan Pangan
(Photo: Ferry/BD)

Swasembada, Ketahanan, Kedaulatan Pangan dari Kacamata Petani

(Beritadaerah-Kolom) Ada seorang petani bernama Miran yang tinggal di sebuah desa kecil sumber pangan bernama Watuanyar, tersembunyi di dataran subur Jawa Tengah. Desa itu dikelilingi oleh persawahan yang membentang luas seperti permadani hijau yang bergoyang lembut di bawah angin pagi. Hidup Miran sederhana, rumah panggung kayunya berdiri di tepi sawah, beratap seng yang sering berisik saat hujan datang tiba-tiba. Meski tubuhnya mulai renta dan lututnya kerap nyeri saat menanam benih, batinnya justru semakin peka, penuh dengan tanya yang terus tumbuh seperti rerumputan liar di pematang sawah.

Ia banyak merenung tentang musim yang tak menentu, harga gabah yang naik-turun seperti ombak di pantai selatan, dan nasib petani yang makin samar di tengah zaman yang berubah cepat. Setiap pagi, ia bangun sebelum fajar, menghirup aroma tanah basah yang akrab di hidungnya, mencium tanah dengan hormat, lalu menanam padi seperti yang dilakukan ayah serta kakeknya dahulu. Tapi dunia di luar sawahnya berubah seperti layar ponsel: cepat, terang, dan tidak selalu bisa ia pahami. Kadang Miran merasa seperti berjalan pelan di tengah arus deras, seolah tenang luar tapi cemas dalam.

Suatu pagi, ketika ia duduk di warung Bu Suminah dengan segelas kopi panas dan rokok kretek yang menyala pelan, radio tua yang tergantung di dinding bambu menyiarkan ulang pidato Presiden Prabowo. Presiden berbicara dengan suara berat dan nada tegas tentang swasembada pangan, energi, dan air sebagai pilar utama pembangunan masa depan Indonesia. Di antara denting sendok dan hiruk-pikuk pasar, suara itu tetap terdengar jelas. Miran menatap ke luar jendela warung, memandangi kabut yang mulai mengangkat dari lereng sawah, merasa asing dengan kata-kata besar itu, namun juga penasaran.

Kata “swasembada” terasa berat dan asing di telinganya. Dulu ia lebih akrab dengan kata “cukup”. Tapi dari nada suara sang Presiden, ia menangkap sesuatu yang lain—sebuah harapan, mungkin juga panggilan. Ketika sang Presiden berkata bahwa petani harus dimakmurkan agar anak-anak mereka tetap mau bertani, Miran menggenggam cangkirnya lebih erat. Pikirannya mengembara pada anaknya, Fajar, yang kini kerja di kota sebagai sopir ojek daring, dan belum tentu mau kembali ke desa.

Keesokan harinya, seorang penyuluh muda bernama Irwan datang ke sawahnya dengan sepatu bot bersih dan semangat yang menyala. Ia membawa kabar gembira bahwa pemerintah akan menyalurkan alat pertanian modern dan benih unggul sebagai bagian dari program swasembada pangan. Irwan menjelaskan panjang lebar tentang traktor kecil, pompa irigasi tenaga surya, dan varietas padi yang tahan hama.

Tapi Miran, dengan tangan penuh lumpur dan topi caping tua yang melindungi dari panas matahari, hanya menatapnya tenang dan bertanya, “Siapa yang akan membeli hasil panen kami? Dan apakah harganya bisa lebih baik dari sekarang?”

Irwan terdiam sesaat, lalu menjawab bahwa sedang dirancang skema distribusi yang lebih adil. Kata-kata itu terdengar seperti janji yang masih berupa bayangan. Miran mengangguk pelan, namun dalam hatinya tetap ada tanda tanya besar yang belum terjawab.

Malamnya, di bawah cahaya lampu minyak, ia membuka buku catatan tua yang penuh coretan hasil panen sejak lima belas tahun lalu. Buku itu diwarisi dari ayahnya, dan setiap halaman mencatat cerita: cuaca buruk, hama mendadak, harga jatuh, pupuk langka. Ia memandangi istrinya, Sari, yang sedang menjemur gabah di depan rumah sambil berbicara pelan dengan tetangga soal harga beras. Kata lain yang terngiang di benaknya adalah “ketahanan pangan”. Ia mengingatnya dari pelatihan lima tahun lalu yang dibawakan LSM kecil dari Solo.

Baginya, ketahanan bukan soal gudang logistik negara atau angka statistik. Ketahanan berarti keluarga bisa makan cukup setiap hari, tanpa harus meminjam uang atau berharap bantuan. Ia tahu bahwa tanah mereka subur, tetapi ia juga tahu bahwa sistem yang mengelola hasilnya sering kali tak berpihak.

Pada minggu berikutnya, ia menghadiri pertemuan petani di balai desa. Temanya adalah membangun sistem pangan yang adil dan mandiri. Seorang pembicara dari kota, mengenakan kemeja putih rapi dan membawa proyektor kecil, menjelaskan tentang konsep kedaulatan pangan. Katanya, kedaulatan bukan sekadar tidak impor, tetapi tentang siapa yang mengendalikan sistem pangan: petani atau pasar besar?

Miran mengangkat tangan dan bertanya dengan suara berat, “Apakah itu berarti petani bisa memilih cara bertani mereka sendiri?” Pembicara tersenyum dan menjawab, “Benar, Pak. Kedaulatan pangan berarti petani tidak hanya disuruh tanam, tapi juga diajak memutuskan.”

Kata-kata itu terus terngiang seperti gema di kepala Miran. Malam itu, ia tak bisa tidur. Ia duduk di serambi rumahnya, menatap bulan sabit yang menggantung di langit. Ia mulai berpikir tentang perubahan, bukan yang datang dari luar, tapi yang lahir dari dalam desa itu sendiri.

Ia mulai berbicara lebih banyak dengan para petani muda. Ia duduk di bawah pohon jambu, berdiskusi tentang pupuk organik, bibit lokal, koperasi desa, dan cara menyimpan hasil panen agar tidak tergantung tengkulak. Mereka belajar bersama bahwa swasembada tidak cukup tanpa ketahanan, dan ketahanan tidak cukup tanpa kedaulatan. Mereka mulai mencoba menanam sayuran untuk konsumsi sendiri: bayam, kangkung, tomat. Mereka menyewa gudang kecil milik pakde Warjo yang sudah lama kosong, dan menjadikannya lumbung gabah.

Pelan-pelan, rasa percaya mulai tumbuh. Miran merasa bahwa ia tidak sendiri. Dalam pertemuan mingguan yang mereka sebut “Rembug Sawah”, diskusi menjadi lebih hidup. Dulu hanya bicara soal pupuk mahal, sekarang mereka bicara soal harga wajar dan akses pasar langsung.

Suatu sore, Dimas, anak muda lulusan universitas pertanian di Bogor, pulang kampung dan ikut kelompok tani. Ia membawa pengetahuan tentang pertanian regeneratif, teknologi tepat guna, dan model bisnis pertanian yang berpihak pada petani kecil. Tapi yang paling berkesan bagi Miran adalah bahwa Dimas mau mendengar. Ia tak datang menggurui, tapi duduk di tikar, makan singkong rebus bersama, dan belajar dari pengalaman para petani tua.

Miran merasa tenang. Ada generasi baru yang tidak hanya paham teori tapi juga peduli pada bumi yang diinjak dan makanan yang ditanam. Mereka mulai menyusun rencana lima tahun: ingin desa mereka punya koperasi gabah, unit pengering sendiri, bahkan rencana pasar mingguan. Mereka belajar soal agroekologi, pentingnya menjaga hara tanah, serta membangun sistem pangan yang adil sejak dari akar.

Baca juga : Harga Kopi Arabika Turun ke Harga Terendah 2 3/4 bulan

Musim panen datang. Hasilnya tidak spektakuler, tapi cukup. Yang lebih penting, mereka tidak langsung menjual ke tengkulak. Gabah ditimbang di lumbung kelompok dan disimpan. Harga sedang turun, jadi mereka menunggu. Mereka mulai memahami bahwa kekuatan bukan hanya di cangkul, tapi di kebersamaan.

Wartawan dari ibukota datang, ingin meliput desa yang disebut “kampung mandiri pangan” oleh dinas pertanian. Saat ditanya soal program Presiden, Miran menjawab dengan pelan, “Kalau kami bisa makan cukup, menjual dengan harga layak, dan memilih apa yang kami tanam, itu baru adil.”

Ia tidak mengutip slogan, tidak menyebut data. Ia hanya bicara dari tanah yang ia kenal sejak kecil.

Menjelang akhir tahun, desa Watuanyar mulai dikenal. Tapi bagi Miran, itu bukan inti dari segalanya. Suatu malam, ia duduk di teras rumahnya. Angin semilir membawa wangi rerumputan. Istrinya menyeduh teh jahe hangat dan duduk di sampingnya. Mereka tak banyak bicara, hanya menikmati diam yang penuh makna. Ia tahu bahwa jalan ini belum selesai. Tapi mereka memilihnya dengan hati.

Di langit, bintang-bintang bertabur seperti benih harapan. Di tanah, akar-akar tanaman menembus bumi dengan tenang. Kisah Miran, sesederhana apapun, telah menjadi cermin dari makna tiga kata besar yang sering terdengar di panggung politik: swasembada, ketahanan, dan kedaulatan pangan.

Swasembada, Ketahanan, Kedaulatan Pangan

Kini, bagi Miran, swasembada pangan bukan hanya tentang target nasional atau pidato di televisi, melainkan tentang bagaimana desa seperti Watuanyar bisa menghasilkan beras sendiri tanpa terlalu bergantung pada beras impor. Ia paham bahwa swasembada menyangkut produksi dalam negeri—soal kemampuan tanah, petani, dan teknologi lokal. Tapi ia juga tahu bahwa produksi saja tidak cukup, jika hasil panen masih dijual murah dan petani tetap rugi.Ketahanan pangan, baginya, lebih dekat dengan dapur-dapur yang tetap mengepul setiap pagi. Ia sadar bahwa ketahanan berarti semua warga, tua muda, punya cukup makanan yang sehat dan terjangkau. Ketahanan itu bukan cuma stok di gudang negara, tapi juga jangkauan pasar, akses pupuk yang adil, dan jalan yang cukup baik agar gabah bisa dibawa ke penggilingan.

Dan dari semua itu, Miran paling merasakan makna kedaulatan pangan—sesuatu yang dulu terasa asing, kini perlahan menjadi nyata dalam hidupnya. Kedaulatan adalah saat kelompok tani mereka bisa memilih sendiri varietas padi yang akan ditanam. Saat mereka tak dipaksa mengikuti pola tanam dari atas, melainkan bisa merancang sistem sendiri yang lebih sesuai dengan tanah dan tradisi mereka. Kedaulatan adalah ketika mereka menolak tengkulak yang menekan harga, dan mulai menjual langsung lewat koperasi desa. Lebih dari itu, kedaulatan berarti petani kecil punya hak atas tanah, air, dan benih—tanpa harus tunduk pada dominasi perusahaan besar atau sistem pasar yang memaksa.

Miran kini tahu bahwa tiga kata besar itu berbeda tapi saling terkait. Swasembada bicara soal produksi dalam negeri. Ketahanan bicara soal akses setiap orang terhadap makanan yang cukup. Dan kedaulatan bicara soal hak rakyat untuk menentukan sendiri bagaimana pangan mereka diproduksi dan dikelola.

Jika dulu ia hanya bertani karena warisan, kini ia bertani karena pilihan. Karena di balik setiap bulir padi, ada harapan bahwa desa tidak lagi sekadar jadi penonton pembangunan, tapi bisa jadi pusat dari masa depan pangan Indonesia.