(Beritadaerah-Kolom) Di antara desir ombak pesisir barat Aceh, kehidupan warga Meulaboh terus bergulir dalam harmoni yang tak selalu mudah. Di kota ini, cerita tentang ekonomi bukan sekadar grafik dan angka, melainkan soal belanja harian di pasar, biaya pendidikan anak, dan strategi bertahan hidup saat harga-harga terus merambat naik. Masyarakat Meulaboh tahu betul bagaimana mengelola kehidupan di tengah perubahan harga, dan dari keseharian itulah kita bisa membaca denyut nadi ekonomi yang sesungguhnya.

Pada tahun 2024, Meulaboh mencatat inflasi year-on-year sebesar 3,29% dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) mencapai 108,63 pada bulan Desember. Angka ini lebih tinggi dibanding banyak wilayah lain di Aceh, mencerminkan tekanan harga yang nyata di tengah masyarakat. Kenaikan ini paling banyak disumbang oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau—kelompok pengeluaran yang mendominasi struktur konsumsi rumah tangga di kota ini.
Masyarakat merasakan perubahan ini secara langsung ketika harga beras naik, minyak goreng lebih mahal, dan sayur mayur pun tak lagi semurah dulu. Bagi sebagian keluarga, pengeluaran untuk makanan kini menyita lebih dari separuh anggaran bulanan. Perubahan ini tidak hanya berdampak pada dapur, tapi juga pada cara mereka mengambil keputusan harian—dari memilih belanja di pasar tradisional yang lebih murah, hingga membatasi konsumsi daging dan menggantinya dengan alternatif yang lebih hemat.
Pendapatan masyarakat Meulaboh tidak selalu mampu mengikuti laju kenaikan harga. Sebagian besar warga menggantungkan hidup pada pekerjaan informal—nelayan, petani, pedagang kecil, hingga pekerja harian yang pendapatannya sangat fluktuatif. Ketika harga barang naik, penghasilan mereka tidak serta merta menyesuaikan. Akibatnya, daya beli masyarakat pun tergerus perlahan.
Sektor transportasi juga terkena imbas. Kenaikan harga bahan bakar mempengaruhi tarif angkutan umum dan biaya logistik barang, yang kemudian memperbesar efek domino pada harga kebutuhan pokok. Dalam keseharian, warga mulai membiasakan diri berjalan kaki lebih jauh, atau menggunakan sepeda motor hanya untuk keperluan penting. Adaptasi ini menjadi bagian dari strategi bertahan, sekaligus mencerminkan betapa sensitifnya ekonomi rumah tangga terhadap perubahan kecil dalam struktur biaya hidup.
Di tengah tekanan ekonomi, respons masyarakat Meulaboh justru menunjukkan kekuatan sosial yang luar biasa. Arisan warga, koperasi simpan pinjam, serta forum pengajian atau komunitas masjid sering menjadi tempat saling berbagi informasi tentang harga murah, peluang kerja, atau bantuan pemerintah. Solidaritas menjadi kekuatan utama ketika ekonomi keluarga diuji.
Peran pemerintah daerah dan lembaga sosial juga tak bisa diabaikan. Bantuan langsung tunai, program pangan murah, dan pelatihan kewirausahaan kecil-kecilan menjadi titik terang bagi banyak warga. Meski belum merata, inisiatif ini membantu menstabilkan beban ekonomi rumah tangga. Harapannya, langkah-langkah ini terus diperkuat dan diperluas agar manfaatnya menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat.
Di sisi lain, UMKM lokal juga menjadi motor penggerak yang patut diperhatikan. Di tengah tantangan ekonomi, banyak warga memulai usaha rumahan seperti menjual makanan ringan, kerajinan tangan, hingga jasa layanan digital. Dengan dukungan yang tepat, sektor ini bisa menjadi jawaban atas stagnasi lapangan pekerjaan formal dan sekaligus mengangkat daya beli masyarakat dari akar rumput.
Harga-harga mungkin akan terus naik, tapi semangat warga Meulaboh untuk bertahan dan beradaptasi tak ikut surut. Dari sudut pasar hingga halaman rumah, dari rapat RT hingga komunitas digital, ekonomi lokal terus bergerak dengan daya juang yang tak ringan. Bagi mereka, menjaga keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan adalah soal ketekunan sehari-hari.
Napas panjang itu tetap ada. Meskipun kadang terasa berat, warga Meulaboh tidak berhenti berusaha menyesuaikan langkah mereka dengan irama perubahan zaman. Dan dari sana, kita belajar bahwa ketahanan ekonomi bukan hanya soal angka, tetapi tentang keberanian, gotong royong, dan keuletan untuk terus hidup—dengan harapan yang tidak pernah benar-benar hilang.
Pola konsumsi masyarakat di Meulaboh terus berubah seiring tekanan harga yang berlanjut. Di banyak rumah tangga, penyesuaian bukan lagi bersifat sementara, melainkan telah menjadi gaya hidup baru. Anak-anak terbiasa membawa bekal dari rumah, ibu-ibu membuat camilan sendiri daripada membeli, dan kaum muda lebih memilih menghabiskan waktu di rumah ketimbang nongkrong di warung kopi. Situasi ini juga berdampak pada pertumbuhan sektor jasa lokal, yang kini harus lebih adaptif terhadap perubahan perilaku konsumen.
Dalam dunia pendidikan, tekanan ekonomi mulai terasa pada pengeluaran untuk keperluan sekolah. Tidak sedikit keluarga yang kesulitan membeli seragam baru, perlengkapan sekolah, bahkan membayar iuran komite. Beberapa sekolah di Meulaboh mulai melakukan inisiatif seperti koperasi seragam murah, sistem sewa buku pelajaran, atau subsidi silang antar siswa. Upaya-upaya kecil ini memberikan ruang bagi orang tua untuk tetap mendukung pendidikan anak-anak mereka tanpa membebani keuangan rumah tangga.
Dari sisi kesehatan, sebagian keluarga kini menunda pemeriksaan rutin atau pembelian vitamin dan suplemen karena lebih mengutamakan kebutuhan pokok. Hal ini tentu berisiko dalam jangka panjang, sehingga peran Puskesmas dan program layanan kesehatan masyarakat semakin vital. Pemerintah daerah bersama sektor swasta bisa memanfaatkan data ekonomi lokal untuk merancang intervensi yang tepat sasaran, seperti posyandu keliling, layanan imunisasi gratis, dan penyuluhan gizi berbasis komunitas.
Ketika bicara soal pertanian—salah satu sektor utama di Meulaboh—kondisinya pun tak luput dari dinamika harga. Biaya pupuk dan pestisida yang meningkat membuat sebagian petani kesulitan mempertahankan produktivitas. Beberapa kelompok tani mencoba sistem tanam bergilir dan penggunaan pupuk organik sebagai alternatif, sementara lainnya menggandeng koperasi dan distributor lokal untuk menekan biaya operasional. Pendampingan teknis dari penyuluh pertanian sangat dibutuhkan agar inovasi ini bisa terus berjalan dan menghasilkan dampak nyata.
Potret ekonomi rumah tangga di Meulaboh juga tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-budaya yang kuat. Nilai-nilai keislaman dan kekeluargaan memberikan kekuatan moral untuk bertahan di masa sulit. Banyak keluarga yang tinggal berdekatan saling membantu, mulai dari berbagi bahan makanan hingga merawat anak ketika orang tuanya bekerja. Tradisi seperti kenduri dan gotong royong tetap hidup meski dalam versi yang lebih sederhana.
Melihat kondisi ini, ada optimisme yang bisa ditumbuhkan. Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu mendengar lebih dekat suara masyarakat bawah. Tidak cukup hanya menyusun kebijakan dari balik meja, tapi juga menyelami realitas sehari-hari yang dihadapi warga. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan evaluasi program pembangunan menjadi kunci agar kebijakan benar-benar sesuai dengan kebutuhan lokal.
Harapan bukanlah sesuatu yang abstrak di Meulaboh. Ia hadir dalam bentuk warung kecil yang tetap buka meski sepi, petani yang tak menyerah meski cuaca tak menentu, anak-anak yang tetap belajar meski hanya dengan buku bekas. Harapan itu hadir dalam percakapan antar tetangga, dalam gotong royong saat panen, dalam doa-doa yang dipanjatkan setiap malam. Dari semua itu, kita belajar bahwa kekuatan ekonomi sejati ada pada daya juang masyarakatnya.
Dan Meulaboh, dengan segala kesederhanaan dan ketangguhannya, telah membuktikan bahwa napas panjang itu tidak hanya cukup untuk bertahan—tetapi juga untuk terus melangkah ke depan.